JAKARTA-Pengembangan industri bahan bakar nabati (BBN/ biofuel) di Tanah Air menjadi harapan untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Bagi Indonesia, BBN tidak sekadar untuk memenuhi pasar domestik namun juga menopang penyerapan minyak sawit yang menjadi bahan baku utama pada pembuatan biofuel, di sisi lain mampu mengurangi impor bahan bakar fosil secara signifikan.
Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menjelaskan, awal pengembangan BBN adalah sebagai tindak lanjut dari semakin besarnya defisit neraca perdagangan akibat impor bahan bakar fosil. Data 2019 menunjukkan, defisit mencapai US$ 9,30 miliar akibat Indonesia mengimpor kurang lebih 50% bahan bakar fosil. “Namun melalui program mandatori biodiesel 30% (B30) berbasis sawit yang dicanangkan pemerintah ternyata pada 2020 devisa yang mampu dihemat mencapai US$ 3,09 miliar atau setara Rp 44,74 triliun,” kata Paulus dalam Indonesian palm oil Conference (IPOC) 2020, kemarin.
Saat ini, perkembangan industri BBN telah meningkat sangat pesat. Industri BBN melalui program B30 juga berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca (EGRK) sebesar 17,50 juta ton CO2eq atau setara dengan 45% pada target energi dan transportasi pada 2019. Selain itu, industri BBN diproyeksikan mengurangi 25 juta ton CO2eq atau 68% dalam kontribusi pada target energi dan transportasi tahun ini.
Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengungkapkan, BBN berbasis sawit telah menjadi bagian dari strategi ketahanan energi pemerintah secara nasional. Sejak awal 2020, B30 telah memproduksi 4,28 juta ton biodiesel pada semester 1-2020. Secara khusus, Pemerintah Indonesia menciptakan lima langkah strategis untuk pengembangan BBN. Pertama, dengan menjamin program B30 berjalan sesuai target. Kedua, riset dan perencanaan pengembangan B40 dan B50 baik dari sisi teknis dan ekonomis, meliputi road test serta pengujian pada mesin pembangkit listrik tenaga diesel.
Ketiga, melalui kerja sama dengan Pertamina dalam mendorong program green fuel dengan memproduksi green diesel, green gasoline, dan green avtur beserta studi kebijakan, efisiensi, teknologi, pasokan, insentif dan infrastruktur pendukung, beserta pengembangan industri pendukung seperti metanol dan katalis. Keempat, pengembangan hidrogenasi minyak sawit (HPO) bekerja sama dengan Pertamina, Pupuk Indonesia, ITB, Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa sawit (BPDPKS), dan pemangku kepentingan lain. Kelima, memanfaatkan lahan reklamasi atau bekas pertambangan bekerja sama dengan Ditjen Mineral dan Batubara dan pemerintah daerah dalam mengidentifikasi lahan bekas tambang, serta bekerja sama dengan Kementerian Pertanian untuk menentukan komoditas yang paling cocok.
Pemerintah sedang melakukan uji coba HPO (D-100) yang dimulai sejak pertengahan tahun 2020. Secara kualitas, sejauh ini HPO lebih bagus daripada biofuel ataun jenis diesel lainnya. HPO sangat mirip dengan minyak diesel namun terkait nilai kalori, diesel lebih sedikit dibanding HPO. Dadan menjelaskan, diperlukan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan dalam pengembangan program bakar bakar nabati sesuai dengan road map yang telah dibuat. “Kami menginginkan sustainable biodiesel sehingga kami juga membutuhkan sustainable fund sebagai dukungan,” jelas Dadan.
Sumber: Investor Daily Indonesia